Tuhan, sebenarnya aku tahu Kamu sudah membaca tulisan ini bahkan sebelum jari-jariku menekan tombol-tombol laptop.
Tuhan, apa aku masih boleh menuliskan surat untuk-Mu? Pasti boleh. Tapi apakah aku masih boleh mengirimkan suratku kepada-Mu lewat doa yang tidak rajin aku tunaikan? Aku sudah terlalu sering bertanya, lalu menyesal, lalu mengutuk apa-apa yang Kamu tuliskan di kitab perjalananku. Padahal aku terlalu sering mengoceh ke semua orang tentang bagaimana seharusnya kami, hamba-Mu, tak pantas banyak-banyak mengeluh, hanya untuk meneriaki diriku sendiri. Aku tahu jawabannya masih sama dengan jawaban pertanyaan pertama; pasti boleh.
Begini, Tuhan, aku punya banyak sekali pertanyaan yang diawali dengan kata tanya 'kapan', yang baru saja aku tuliskan di buku catatan yang suka kubawa ke mana-mana itu. Aku rasa aku tidak mau menanyakannya di surat ini. Kamu pasti sudah membaca semua pertanyaanku ketika aku sedang menuliskannya. Aku hanya ingin merangkum pertanyaan-pertanyaan itu ke dalam sebuah doa di surat ini. Semoga Kamu mau membacanya. Aku tahu Kamu pasti membacanya karena Kamu bukan karyawan bagian SDM dari suatu perusahaan yang suka tidak membaca semua surat lamaran yang ditujukan kepadanya.
Tuhan, aku minta sebuah perpisahan. Perpisahan yang sungguh-sungguh. Tolong tuliskan bagian yang kuminta ini di kitab perjalanan milikinya, dia yang Kamu pasti sudah tahu siapa. Jangan sisipkan kedatangan-pertemuan kecil di antaranya. Buatkan aku satu semesta lagi yang berbeda dengan semestanya jika saja bisa. Biarkan aku berhenti berlaku seperti orang yang sering kehilangan kewarasan, lalu menemukannya lagi, lalu kehilangannya lagi. Aku mau terus waras, walaupun aku butuh kembali dulu dari ketidakwarasan ini.
Tuhan, aku tahu ada jauh lebih banyak hal-hal baik yang sudah ada di dalam kitab perjalananku. Semuanya sudah Kamu siapkan. Mungkin hanya masalah warna tinta yang Kamu pakai untuk menulis, yang membuat beberapa hal mengecewakan dan menyakitkan saja yang tampak jelas sementara ini. Tolong bantu aku membaca, agar aku bisa tahu dan menjadi bijaksana. Aku sadar aku masih buta huruf sekarang.
Ya sudah, Tuhan. Sudah hampir tiga per empat malam. Sebentar lagi Kamu akan sibuk menyalakan lampu kehidupan sebagian besar orang di wilayah bagian tempatku tinggal. Semoga surat ini sampai lebih dulu. Aku mau bersyukur dulu, karena seberapa banyakpun air mata yang aku buat meresap di sekujur kasur dan bantal-bantalku, atau jaketku, aku tahu aku masih jauh lebih beruntung dari banyak orang lain.
Selamat beristirahat, Tuhan. Selamat membaca.
kenapa menggunakan kamu ? bukan engkau ?
BalasHapusbiar akrab :D
BalasHapus