Sabtu, 09 Juni 2012

Sebuah Jawaban




Pukul 9.14 malam saat aku tiba di tempat dimana aku telah membuat janji dengan seorang teman dekatku, sahabatku. Tempat makan itu cukup ramai. Aku langsung menempati sebuah meja di pojok ruangan dan memesan secangkir teh tarik hangat. Beberapa saat aku hanya memainkan blackberry-ku, men-scroll timeline tanpa mem-post tweet apapun. Seorang pelayan menghampiriku dan membawakan pesananku. Beberapa saat kemudian aku hanya melamun memperhatikan seisi cafe sambil menanti orang yang memang kutunggu datang.

.....


Malam ini ada live music. Biasanya memang ada live music pada hari sabtu malam di tempat ini, namun entah kenapa di malam kamis seperti ini ada. Ada yang menarik perhatianku pada kelompok musik itu. Mereka punya seorang violis berambut gimbal. Lelaki itu tampan, senyumnya manis dan terlihat bersih serta tak seacak-acakan rambutnya. Permainan biolanya luar biasa. Namun yang paling menarik perhatianku adalah dia luar biasa sebagai seorang musisi berpenampilan eksentrik yang memainkan alat musik dengan image lembut seperti biola. Aku masih terus melamun dan bermain dengan pikiranku. Aku pikir, suatu saat nanti anakku harus jago musik serta jago bermain musik, dan aku akan menjadi seorang ibu pecinta musik yang paling bahagia di dunia.

Setelah beberapa saat basi-basi intermezo antar lagu oleh sang vokalis, kelompok musik itu membawakan Falling In Love At A Coffee Shop milik Landon Pigg. Aku yang masih melamun semakin terpaku pada pikiranku sendiri saat mendengar potongan lirik "yes there's a chance that I've fallen quite hard over you..." Aku tak harus mendengarkan Landon Pigg meyakinkanku dengan lagunya untuk paham bahwa aku memang jatuh cinta cukup hebat pada laki-laki yang sedang kutunggu kedatangannya ini. Aku mudah jatuh cinta. Aku tak suka bermanja-manja dengan trauma akan sakit yang pernah aku alami. Sebagai psikolog yang menghabiskan waktunya bertahun-tahun memahami hebatnya kekuatan pikiran, aku paham betul bahwa seluruh dunia ada di dalam kepala kita sendiri dan kita bisa dengan mudah mengontrolnya. Termasuk jatuh cinta, bisa diatur dengan mudah di dalam otak. Aku mampu berjalan dengan kaki yang masih pincang karena kisah cintaku sebelumnya ke arah sebuah cinta baru yang aku harap bisa memberiku harapan. Sampai pada akhirnya aku paham bahwa pikiran bisa mengontrol apapun, tapi belum tentu menogontrol kedalamannya. Aku bisa jatuh cinta, namun aku membutuhkan cinta yang cukup sakti untuk menyembuhkan kaki pincangku, dan aku tak mampu mengontrol itu.

Sepersekian detik aku keluar dari pikiranku sendiri dan menjamah dunia nyata, aku mendengar kelompok musik itu memainkan So Right milik Music For Sale. Semua lagu yang mereka bawakan diaransemen dengan sentuhan biola dan sang violis masih saja menawan. Aku lalu membuang pandanganku ke sekeliling ruangan cafe. Ada sepasang kekasih yang duduk dua meja dari mejaku. Seingatku, selama aku menunggu 15 menit lebih, mereka tak berbicara sama sekali. Aku akhirnya memutuskan untuk memperhatikan mereka sebelum kembali melamun. Mereka memang hanya diam dalam kegiatan masing-masing yang aku rasa hanya merupakan pengalihan yang mereka ciptakan sendiri. Entah memainkan handphone, entah memainkan garpu di atas makanannya, entah hanya sekedar menarik napas panjang yang sunyi di antara bibir-bibir yang manyun.

Lama memperhatikan mereka, aku lalu menarik napas panjang dan tertawa sedikit. Semacam merenungi lagu So Right yang sedang mengalun, aku ingat betul kalau dulu aku punya keyakinan bahwa selama itu cinta, itu adalah benar. Bagiku tak ada perasaan cinta yang salah apapun bentuk dan rupa cerita serta keadannya. Aku bisa paham dan memaklumi bagaimana rasanya memiliki rasa cinta yang lebih besar pada orang lain selain pasangan yang saat itu sedang disanding. Atau bagaimana rasanya menjadi wanita ketiga yang akan kumaki-maki dengan sepenuh kesungguhan hati jika hal yang sama terjadi padaku sebagai orang yang dikhianati. Atau bagaimana rasanya terus memaksa bertahan pada rasa yang sudah jelas-jelas sengaja dilumpuhkan oleh pihak lainnya. Bagiku tak ada yang salah dengan semuanya. Sampai akhirnya aku paham bahwa aku tak akan melakukan adegan akrobatik seumur hidupku, karena pemain akrobat hebat pun pasti melemah dan hanya ingin beristirahat. Dan dengan menuanya usiaku, aku tahu tempat peristirahatan itu tak bisa dibangun hanya dengan cinta. Banyak bahan material yang harus digunakan dan itu tidak mudah didapatkan dalam proporsi yang pas.

Aku tersadar lagi dari permainan pikiranku sambil masih manatap ke arah pasangan tak akur tadi yang ternyata telah menyudahi acara dinner senyap mereka dan beranjak pergi. Mungkin acara itu akan mereka lanjutkan di tempat lain, pikirku. Aku melirik ke arah violis manis itu, satu-satunya hal menarik yang mengisi waktuku menunggu tamuku yang tak kunjung tiba. Dia mempersiapkan diri untuk memainkan lagu berikutnya. Sesekali ia tertawa oleh candaan teman band-nya yang lain. Manis. Memang bukan apa-apa, tapi lumayan menjadi hiburan yang menyenangkan bagiku. Di pojok dari sisi lainnya ruangan itu, aku menangkap sosok seorang laki-laku jangkung berkacamata. Ia sendirian. Ia mengenakan kaos putih entah bergambar apa dengan print tinta gambar warna hitam, jaket hitam, skinny jeans biru tua, dan sepatu keds. Setelah kuperhatikan, ia tidak jauh berbeda denganku. Lebih banyak melamun. Sesekali ia mencoret-coretkan spidolnya pada sepotong kertas di atas mejanya. Lalu raut mukanya terus menunjukkan kalau dia sedang berpikir keras. Lalu dia menunduk dan melamun lagi dengan tatapan mata kosong. Ia tampak seperti seorang penulis yang sedang banjir ide, seorang yang terbiasa mengungkapkan segala sesuatu melalui cara yang tak langsung. Atau setidaknya ia tampak seperti seorang yang sedang gamang dengan perasaan yang entah harus diapakan.

Sementara itu live music yang disajikan malam itu memainkan lagu dari Boyce Avenue yang berjudul Hear Me Now. Sekilas aku mengingat lirik lagu itu dan memahami keseluruhan cerita lagu bahwa sekian rintihan dalam hati pada akhirnya hanya bisa diharapkan untuk didengar, entah bagaimana caranya, karena si perintih sendiri tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya. Aku melamun lagi. Aku orang yang sangat senang berbicara. Aku terbuka dan senang mengungkapkan apapun pada orang lain. Aku malah harus selalu berbagi, jika tidak aku sendiri yang akan terbebani dalam kadar yang keterlaluan. Lalu aku juga suka langsung menyelesaikan apa-apa yang sedang terjadi tanpa menunda. Aku merasa harus mengejar apa yang aku inginkan. Sampai pada masanya aku paham bahwa tak semua hal harus dibereskan seketika. Bahkan ada banyak hal yang tak bisa dengan mudah dibicarakan. Manusia punya hati yang diciptakan dengan sebuah ruang kosong yang memang disediakan untuk mengendapkan hal-hal yang tidak harus dikeluarkan demi kebaikan diri sendiri. Karena bahkan terlalu naif dibilang untuk kebaikan orang lain. Pada titik itu, aku bahkan paham jika sedih dan menangis sendirian itu lebih baik daripada marah dan melibatkan orang lain.

Semua lamunanku dibuyarkan oleh kedatangan seorang laki-laki. Laki-laki yang daritadi kutunggu-tunggu.

.....


Dia duduk di hadapanku. Menarik napas panjang, tersenyum padaku dan meraih daftar menu. Aku bahkan hanya terdiam dan menunduk tanpa menyambutnya dengan ucapan apapun. Tak juga membalas senyumnya. Bertahun-tahun bersahabat dan selalu bersama pada akhirnya mampu menghasilkan kesunyian yang janggal seperti ini.

Aku mengangkat kepala dan memaksa diriku sendiri membuka percakapan sementara dia masih membolak-balik menu.

"Aku mencintaimu..."

Aku menghentikan ucapanku seakan kalimatku memang terputus sendiri atau sengaja kuputuskan. Dia mengangkat wajahnya dari menu dan menatapku. Aku kembali menunduk. Hanya diam yang mengkontaminasi setiap volume udara yang kita berdua hirup. Aku terus menunduk tanpa berani bergerak sedikitpun. Tidak menggerakkan kakiku, apalagi kepalaku untuk kembali mengangkat wajah dan menatapnya balik. Dia mengalihkan padangannya dariku dan meraih bungkus rokok dari dalam sakunya. Ia membakar rokoknya, menghirup dan menghembuskan asapnya sampai seperkiraanku lima menit. Lima menit diam yang membuatku merasa sekarat di antara harap dan pasrah. Samar-samar di garis alam sadar dan bawah sadarku aku mendengar For All The Dreams That Wings Could Fly milik The Milo dimainkan. Inderaku ternyata masih mampu merekam lagu yang dimainkan itu dan memutar sepotong liriknya berulang-ulang di otak. "the more of you remain in this hollow place, until the more of you reveal..."

Sesungguhnya aku tak butuh perkataan balasan apapun darinya. Aku sudah memahami dirinya sampai pada setiap ritme napas yang ia hirup dan hembuskan, atau setiap tatap mata yang ia sorotkan. Aku bahkan tak harus mengungkapkan apa-apa. Kita sudah saling mengenal sampai hidup pada detak nadi yang sesungguhnya sama. Aku hanya sedang gagal menjalankan salah satu prinsip yang seharusnya sudah kupegang erat setelah pemaknaan akan pengalaman hidup yang panjang, bahwa ada beberapa hal yang lebih baik diendapkan di sudut hati yang telah disediakan.

Pada dasarnya aku paham apa yang sesungguhnya aku butuhkan. Aku butuh rumahku tetap ada, dan dialah rumah yang selama ini selalu menjadi tempatku berlari pulang setelah perjalanan yang melelahkan di luar sana. Aku ingin bantalku tetap ada, dan dialah bantal yang pasrah membiarkanku membasahinya dengan air mata setiap aku selesai melakukan sebuah perjalanan yang menyakitkan. Aku lebih butuh semua itu dibandingkan urusan perasaan bodohku terhadapnya yang sesungguhnya bisa dikendalikan.

Pada banyak waktu aku mengharap sosoknyalah yang menjadi pasangan terbaik untukku yang tidak hanya mengandalkan cinta, melainkan dengan segala hal lain yang dibutuhkan dalam jumlah yang proporsional. Pada banyak waktu aku mengharap sosoknyalah yang mampu men-setting kepalaku untuk jatuh cinta sedalam mungkin padanya dan menyembuhkanku dari luka-lukaku. Pada banyak waktu aku mengharap sosoknyalah yang terus selamanya mengendap di dalam hatiku. Tapi aku sadar apa yang lebih aku butuhkan dan tidak mengharapkan apa-apa dari kejadian malam ini. Aku butuh rumah itu tetap menjadi tempatku berlari pulang, bukannya menjadi hal lain di luar sana yang membuatku melarikan diri. Aku tak butuh jawaban apa-apa lagi.

.....


"Aku juga mencintaimu."

Suaranya tiba-tiba terdengar di telingaku, lantang, jelas, dan tidak menggantung sama sekali. Aku mengangkat wajahku dan menemukan seulas senyum yang tidak perlu kejadian malam ini terjadi pun telah sering menyelamatkanku. Dia lalu memanggil pelayan dan menyampaikan pesanannya. Aku masih terus terpaku saat dia meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Tak ada patah hati yang tak sembuh. Pada akhirnya semua akan kamu tertawakan. Sekarang, tertawakan saja bersamaku."

Kata-katanya itu menyudahi waktuku untuk terpaku dan akhirnya sebuah senyum kusunggingkan menutup diam yang sedari tadi kubuat semakin dingin dan beku. Di sudut lain ruangan, All This Time milik One Republic dilantunkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar